Sesungguhnya Allah tidak menciptakan sesuatu yang sia-sia. Contohnya, simak saja paparan di bawah ini.
Anda pernah mendengar kalimat “ kabar Angin ?” yang berarti suatu kebohongan. Kebohongan itu datangnya dari manusia bukan dari angin. Sebenarnya angin mempunyai sifat jujur. Kemanapun ia bertiup, ia akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Apabila saat berhembus dan melewati binatang mati yang sudah menjadi bangkai dan menimbulkan bau tak sedap, ia akan membawa bau itu kepada siapa saja yang ia temui.
Begitu juga dengan bau harum, apabila ia melewati sekuntum bunga yang tengah mekar, ia pasti akan mengabarkan pada semua orang tentang keharuman bunga tersebut. Tidak ada yang ditutup-tutupi, kenyataan harus dikatakan walau itu menyakitkan. Sebagai manusia , kita seharusnya malu. Kalau angin saja dapat berkata jujur, kenapa kita tidak ?
Malam hari rasanya tidak lengkap tanpa taburan bintang-bintang di langit. Dari kejauhan ia kelap-kelipkan cahayanya dan membuat malam menjadi lebih indah.
Penah dengar kalimat bintang film, bintang lapangan atau bintang pelajar ? Julukan-julukan itu diberikan pada orang-orang yang besar dan hebat serta lebih dari yang lainnya. Lain halnya dengan bintang yang ada dilangit, meskipun ia besar dan bahkan mungkin lebih besar dari bumi dan matahari, namun ia tidak mau menampakkan diri. Ia cukp memberiakn cahanya dari kejauhan dan tak ingin dikenal semua orang.
Ia hanya menjadi orang dibelakang panggung, biarlah mausia menikmati cahayanya. Ia tidak mau menjadi sombong karena telah membuat malam hari menjadi indah. Setiap manusia cendrung ingin dikenal, dipuji dan disanjung. Apalagi setelah memberikan pertolongan kepada orang lain. Bahkan sampai disiarkan media massa.
Jadiah seperti bintang yang rendah hati, karena didalam kerendahan itu terdapat sanjungan, pujian dan keterkenalan yang sebenarnya.
bebek bisa ngomong...kwkwkwkwkw
Seekor bebek tengah berenang di sebuah danau yang sejuk. Ia menyelam dan timbul lagi. Meskipun seluruh tubuh mungilnya masuk ke air namun tak sediktipun bulu-bulu halusnya basah. Berkali-kali ia menyelam, tetap saja tidak basah. Semakin dalam dan lama ia menyelam, ia tetap kering.
Dalam kehidupan ini, air danau ibarat sebuah lingkungan dan bebek adalah manusia. Walaupun kita berada di lingkungan yang rusak sekalipun, bila kita tetap berpegang teguh pada kebenaran, maka tidak sedikitpun lingkungan yang rusak dan kotor itu dapat mempengaruhi kita. Jadilah seperti bebek yang teguh, walaupun segarnya air danau menariknya untuk berenang, namun ia tetap kering dan tidak basah sedikitpun.
Tuanglah segelas air, kemudian perhatikan kemana ia mengalir. Sudah pasti jawabannya adalah ke tempat yang lebih rendah. Pernahkah Anda melihat air mengalir ke tempat yang lebih tinggi ? Tentu tidak, di manapun ia berada, air selalu pergi ke tempat yang lebih rendah.
Begitu juga dengan manusia, apabila ia selalu melihat pada orang yang lebih beruntung, maka hidupnya tidak akan tenang. Melihat tetangga punya mobil baru, tidak bisa tidur. Karena ingin juga beli mobil yang lebih hebat dari milik tetangga.
Namun ada juga manusia yang bersifat seperti air, ia selalu melihat ke bawah di mana masih banyak orang yang lebih susah dari dirinya. Manusia yang bersifat seperti air ini, hidupnya akan tenang karena ia selalu menyukuri apa yang Tuhan berikan padanya.
Manusia yang selalu melihat ke bawah tidak akan merasa sedih bila ada tetangganya yang beli mobil baru. Karena dalam pikirannya, ia merasa masih beruntung bisa beli sepeeda motor sedangkan masih banyak manusia yang harus berdesak-desakan naik bis kota, atau berjalan kali. Berlakulah seperti air, mensyukuri apa yang Tuhan berikan pada kita, maka kelak Tuhan akan menambahnya.
Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, bahkan kembar identikpun pasti memiliki perbedaan. Perbedaan itu membuat hidup menjadi lebih beragam dan berwarna. Apa jadinya bila semua manusia di dunia sama ? tentu hidup ini akan terasa monoton dan hambar.
Tapi ingat !!! berbeda boleh saja asal perbedaan itu tidak menjadi boomerang bagi persatuaan. Banyak sudah contohnya, penjarahan yang diakibatkan perbedaan status social, pertempuran antar warga akbat perbedaan suku. Bahkan perbedaan tata cara beribadah dalam suatu agama sering menimbulkan perpecahan.
Dalam menanggapi sebuah perbedaan, kita harus selalu melihat kebelakang. Seperti sebuah pohon, dari satu batang akan tumbuh beberapa cabang, dari cabang-cabang itu akan tumbuh beberapa ranting. Semakin banyak cabangnya, semakin indah dan banyak pula buah yang dihasilkan.
Batang pohon itu tidak pernah melarang cabang-cabang dan rating-ranting itu bergerak. Mereka pergi kemana mereka suka. Tapi satu hal yang harus diingat, untuk dapat tetap hidup dan menghasilkan buah, cabang-cabang dan ranting itu membutuhkan zat makanan yang diperoleh dari akar dan dialirkan melalui batang. Jadi, walaupun berbeda bentuk dan fungsinya, mereka menyadari bahwa perbedaan bentuk dan fungsi itu dapat digunakan untuk memperoleh tujuan dan kebahagiaan bersama, bukan tujuan batang, atau ranting saja.
Begitu juga dengan manusia, perbedaan yang dimiliki harus membuat kita sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada manusia yang mampu melakukan segalanya sendiri. Setiap manusia mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Seperti sebuah pohon, kita dapat saling melengkapi dalam mencapai tujuan hidup. Jadilah seperti pohon yang menjadikan perbedaan itu sebuah kelebihan.
Memang sudah menjadi sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang di miliki. Sudah punya satu, ingin dua, ingin tiga, dan seterusnya. Kadang semua itu membuat kita lupa bahwa dunia ini tidak abadi dan di dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain.
Apapun bentuknya, berlebihan itu tidak akan membawa kebaikan. Terlalu banyak makan akan membuat perut sakit, terlalu banyak harta akan membuat hidup tidak tenang, kemana harta ini harus di simpan agar tidak dirampok.
Seperti sebuah gelas kosong yang dituangkan air, mula-mula terisi seperempat, setengah, lalu duapertiga dan akhirnya penuh. Bila kita terus menuangkan air, maka gelas itu tidak akan berubah menjadi lebih besar agar dapat menampung semua air. Gelas itu tidak akan memaksa dirinya, karena ia sudah merasa cukup, yang dibutuhkan hanya seukuran dengan besarnya. Kelebihan itu akan ia bagikan pada yang lainnya, karena ia tidak serakah.
Alangkah indahnya hidup ini jika manusia tidak serakah. Mereka hanya mengambil apa yang dibutuhkan dan memberikan kelebihannya pada yang lain. Seperti sebuah gelas yang tidak serakah.
dia selalu setia ama pasangannya sampai kematian memisahkan mereka.
Dulu aku pernah punya sepasang merpati putih yang ekornya mengembang gitu (ga tau jenis apa, secara aku juga dikasih sama saudara).
Trus ceritanya yang seekor ga tau kenapa tiba-tiba aja mati dengan luka di sayap dan d leher (kata bapak aku sih karena diterkam kucing).
Yang seekor lagi keliatan murung banget gan, seharian ga mau makan n minum, sampai waktu sore kita sedang asyik bercanda sama keluarga d teras rumah, itu merpati yang seekor lagi meluncur dari atas kabel listrik di depan rumah dan menabrakkan dirinya sendiri ke lantai teras sehingga langsung mati seketika.
Secara kita semua kan kaget liatnya...
Dari situ baru kita semua sadar bahwa memang merpati itu binatang yg paling setia sama pasangannya sampai seumur hidupnya.
Segumpal awan putih mengapung di langit biru. Bergerak sedikit demi sedikit menuju awan-awan yang lain, berkumpul dan menjadi besar, kemudian turunlah hujan. Air hujan itu memberi kehidupan di muka bumi, sawah-sawah menjadi subur, sungai-sungai terisi, manusia dan hewan dapat makan dan minum.
Coba bayangkan bila segenap manusia bertingkah seperti awan yang bersatu. Walaupun awalnya kecil, namun ia tidak menyerah, tapi menjalin kekuatan bersama yang lainnya untuk membantu sesame. Sekecil apapun kita, bila bersatu maka dapat menghasilkan sebuah kekuatan yang luar biasa yang dapat berguna bagi sesama.
Jadilah seperti awan, janganlah menyerah dengan keadaan yang kita miliki. Walaupun kecil, bila yang kecil-kecil itu beratu, maka dapat mengalahkan yang besar.
Seorang anak kecil memaikan sebuah karet, ia menariknya kesana-kemari dengan senangnya. Ditarik lagi karet itu dengan sekuat tenaga dan akhirnya putus. Anak itu terkejut karena karet melukai tangannya.
Manusia yang tidak mempunyai pendirian, ibarat sebuah karet yang lentur. Di ajak kesana mau, kesini juga mau. Ia tidak punya keyakinan dalam dirinya, yang membuatnya mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Seperti sebuah karet yang terlalu kuat ditarik, lama kelamaan akan terputus. Begitu pula dengan manusia yang tidak punya pendirian, suatu saat ia akan terluka.
Pada jaman dahulu, sebelum manusia berhasil pergi ke bulan, kita tidak tahu bagaimana keadaan permukaan satelit bumu itu. Dari jauh bulan tampak terlihat sangat indah, dengan pancaran cahayanya yang sejuk menambah indah malam. Bahkan keindahan itu sering digunakan oleh sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran untuk saling merayu.
Setelah astronot kembali ke bumi dan menceritakan keadaan permukaan bulan yang sebenarnya, barulah kita sadar bahwa apa yang terlihat indah selama ini, tidaklah seindah aslinya. Permukaan bulan itu gersang, kering, berlubang-lubang, penuh batu dan kerikil. Sangat berbeda dengan apa yang kita lihat dari bumi. Segala sesuatu yang terlihat indah, menawan, dan bagus dari jauh, belum tentu sama bila dilihat dari dekat.
Begitu pula dengan manusia, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja, dalam istilah kerennya “don’t judge the book from the cover.” Bila ia rapi, bersih, dan berdasi, maka orang itu bersifat baik. Sedangkan bila ia dekil, kumal, compang-camping, ia penjahat.
Namun, pada kenyataannya banyak manusia berdasi yang jahat. Bahkan lebih jahat dari binatang. Para koruptur, contohnya. Dengan dasi dan jasnya ia menipu dan mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Janganlah kita memandang orang lain sperti kita memandang bulan. Bisa-bisa kita tertipu, karena apa yang terlihat belum tentu kenyataan yang sebenarnya.
Proses, semua yang ada di dunia ini terlebih dahulu mengalami sebuah proses sebelum menjadi seperti apa yang kita lihat dan rasakan sekarang. Bahkan Tuhan menciptakan alam semesta ini dalam 7 hari (walau sebenarnya dalam sekejap saja bisa). Tidak ada yang instant, semakin lama suatu proses berlangsung, semakin sempurna pula hasilnya.
Namun, banyak manusia yang tidak sabar dengan sebuah proses. Jalan pintas banyak ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan menghalalkan segala cara . Akibatnya, bukan kebaikan yang di dapat, tapi sebuah kehancuran. Karena hasil yang dicapai melalui jalan pintas hanya menimbulkan kebahagioaan sementara yang semu.
Seperti seekor katak yang mengalami sebuah proses sebelum menjadi katak dewasa. Pertama-tama telur, kemudian berudu yang hanya bisa hidup di air. Kemudian menjadi katak kecil dan akhirnya dewasa dan dapat hidup di darat dan air.
Coba bayangkan apa jadinya jika katak-katak itu tidak sabar dan tidak mau menjalani proses yang sudah digariskan. Yang terjadi adalah katak aneh, dan mungkin katak itu akan hidup dalam penderitaan dan akhirnya mati lebih cepat.
Jadilah seperti katak yang penyabar, menjalani semua proses yang ada untuk mencapai tujuan, kalau mau mendapatkan kebahagiaan yang nyata.
--------------------------------------------------------------------------------------------------